Beberapa bulan yang lalu saya mengalami kejadian yang
tak disangka-sangka. Lebih tepatnya yang mengalaminya anak dari adiknya kakek
saya yang kini sudah meninggal. Awal penyebab meninggalnya simpel, dia punya
kebiasaan “ngileni” atau mengorek telinga dengan ujung bulu ayam. Kebiasaan
yang seolah-olah tak berbahaya sama sekali.
Bentuk telinga dirancang untuk mengantisipasi masuknya kotoran. Liang telinga yang bersudut membuat kotoran, seperti debu atau serangga, sulit menembus bagian yang lebih dalam. Tugas menghalau kotoran juga dilakukan kelenjar rambut yang terdapat di bagian depan setelah liang telinga. Di sini juga diproduksi getah telinga yang bernama serumen. Kita lebih mengenalnya sebagai tai telinga atau getah. Tai telinga inilah yang akan menangkap kotoran dan dengan sendirinya membersihkannya.
Orang sering salah kaprah menyangka tai telinga sebagai kotoran. Padahal, fungsinya sangat penting untuk membersihkan kotoran yang masuk. Secara alamaiah, kotoran yang masuk akan kering dan keluar sendiri. Tai telinga tidak usah dibuang, kecuali jika menggumpal dan menyumbat liang telinga sehingga menghalangi masuknya gelombang suara ke telinga dalam. Lagipula, tak banyak kasus orang yang mengalami penggumpalan getah ini.
KRONOLOGINYA
Awalnya, paman saya hanya merasakan sakit di salah
satu telinganya hingga tak tahan. Bukan karena sakitnya, tapi risih dengan rasa
sakit kecil yang dirasakan berhari-hari. Dia diperiksakan ke dokter umum dan
sakitnya hilang. Dua minggu kemudian, sakitnya timbul lagi. Kali ini harus
dirawta oleh dokter spesialis THT dan harus menjalani perawatan pembersihan
telinga seminggu dua kali. Karena menyepelekan nasehat dokter, paman saya
enggan periksa setelah perawatan kedua. Ia merasa sudah sehat dan tak merasakan
sakit lagi. Dua minggu kemudian, tiba-tiba ia pingsan selama beberapa menit dan
setelah sadar ia tak bisa diajak berkomunikasi selama beberapa jam.
Pada hari itu juga, paman dibawa ke RS di Klaten dan
harus menjalani rawat inap. Kondisinya memburuk dan harus dirujuk ke RS di
Jogja yang peralatannya lebih lengkap. Setelah diperiksa dokter, diputuskan
harus dioperasi otaknya karena “kuman” infeksi dari telinga itu sudah masuk ke
otak. Persiapan operasi itu diperkirakan butuh waktu satu bulan, namun baru dua
minggu dirawat paman sudah tak tertolong dan akhirnya meninggal.
Dari pengalaman buruk itu, saya mencari-cari
informasi, apakah benar mengorek telinga bisa menyebabkan infeksi dan
infeksinya bisa menjalar ke otak. Dan inilah info yang saya dapatkan.
SUSUNAN TELINGA
Telinga berfungsi sebagai alat pendengaran dan
keseimbangan. Agar kedua fungsi tersebut berjalan, telinga harus dijaga.
Sayang, banyak orang yang kadung salah dalam hal menjaga kebersihan telinga.
Misalnya, mengorek telinga.
Telinga terdiri dari telinga luar, tengah dan dalam.
Ketiga bagian ini bekerjasama menangkap gelombang suara dan menjadikannya bunyi
yang nyata. Awalnya, gelombang suara diterima oleh telinga luar. Telinga luar
sendiri terdiri dari daun dan liang telinga. Daun telinga menampung suara, yang
kemudian disalurkan ke liang telinga. Dari liang telinga, suara kemudian masuk
ke telinga tengah melalui gendang telinga. Di belakang gendang telinga,
terdapat tulang pendengaran yang bentuknya menyerupai rantai. Tulang-tulang ini
saling berhubungan pada sendi dan berfungsi mengantarkan gelombang suara hingga
menggetarkan gendang dan sampai ke telinga dalam.
Di telinga dalam terdapat alat penerima yang disebut
rumah siput. Di dalam rumah siput terdapat ujung-ujung saraf, cairan, dan organ
yang mengambang. Gelombang suara yang diantarkan gendang dan tulang telinga
akan menggetarkan cairan dalam rumah siput, sehingga membuat organ yang
mengambang bergerak dan menyentuh ujung-ujung saraf pendengaran. Proses yang
tadinya menggunakan tenaga mekanik kemudian diubah menjadi tenaga listrik, dan
disampaikan ke otak sehingga kita mendengar suara.
Sementara sebagai alat keseimbangan, prosesnya lebih
kompleks. Proses terjadi di telinga dalam. Telinga bekerjasama dengan organ
lain seperti mata, sendi-sendi, otak dan lainnya. Jika ada dua organ yang tidak
berfungsi, maka keseimbangan kita pun akan hilang.
BAHAYA MENGOREK
Bentuk telinga dirancang untuk mengantisipasi masuknya kotoran. Liang telinga yang bersudut membuat kotoran, seperti debu atau serangga, sulit menembus bagian yang lebih dalam. Tugas menghalau kotoran juga dilakukan kelenjar rambut yang terdapat di bagian depan setelah liang telinga. Di sini juga diproduksi getah telinga yang bernama serumen. Kita lebih mengenalnya sebagai tai telinga atau getah. Tai telinga inilah yang akan menangkap kotoran dan dengan sendirinya membersihkannya.
Orang sering salah kaprah menyangka tai telinga sebagai kotoran. Padahal, fungsinya sangat penting untuk membersihkan kotoran yang masuk. Secara alamaiah, kotoran yang masuk akan kering dan keluar sendiri. Tai telinga tidak usah dibuang, kecuali jika menggumpal dan menyumbat liang telinga sehingga menghalangi masuknya gelombang suara ke telinga dalam. Lagipula, tak banyak kasus orang yang mengalami penggumpalan getah ini.
Dalam kadar normal, tai telinga hanya menutupi permukaan dinding telinga. Jika dibersihkan, getah akan diproduksi lagi. Maka, telinga sebaiknya tidak dibersihkan dengan cara dikorek. Cukup bersihkan bagian luar saja, yaitu daun dan muara liang telinga. Bagian lebih dalam dari itu, seumur hidup pun tak perlu dibersihkan.
Salah satu yang sering dilakukan orang adalah mengorek
telinga. Tak banyak yang tahu, mengorek telinga justru akan mengakibatkan
terdorongnya getah telinga ke bagian yang lebih dalam yang bukan tempatnya.
Jika getah ini dibersihkan, maka getah akan diproduksi lagi. Jika pengorekan
dilakukan terus-menerus, getah yang terdorong akan menumpuk dan menyumbat, sehingga pendengaran pun menurun karena
gelombang suara tak bisa disalurkan dengan baik.
Mengorek telinga juga bisa mengakibatkan perbenturan
sebab telinga kita bentuknya bersudut. Perbenturan ini akan mengakibatkan
pembengkakan atau perdarahan. Pengorekan yang terlalu keras atau dalam juga
bisa mengakibatkan trauma, ditambah dinding telinga kita mudah berdarah.
Masih ada lagi, mengorek telinga juga bisa bikin
kolaps. Anda mungkin pernah mengalami batuk-batuk saat mengorek kuping. Nah,
hal ini disebabkan adanya refleks saraf pagus yang terdapat di dinding telinga.
Saraf pagus membentang ke tenggorokan, dada sampai perut. Batuk-batuk adalah
refleks yang ringan. Refleks yang berat dan berbahaya bisa mengakibatkan
kolaps.
MUKA TAK SIMETRIS
Mengorek telinga juga bisa menyebabkan infeksi.
Infeksi yang berat dan berada di tempat yang sensitif bisa menyebabkan kualitas
pendengaran menurun, bahkan membuat muka jadi mencong (tak simetris).
Salah satu saraf yang terdapat di telinga adalah saraf
facialis. Saraf ini berada di belakang liang telinga. Fungsinya menggerakkan
otot muka dan sebagai bagian yang menunjang pendengaran. Meski saraf ini dilindungi
tulang, namun jika infeksi atau gangguan lain sudah mengenainya, maka bisa
mengakibatkan muka menjadi mencong, mata tak bisa ditutup, dan lainnya, yang
disebut kelumpuhan saraf facialis.
Infeksi akibat mengorek terlalu keras bisa berbentuk
seperti bisul yang bernanah. Infeksi bisa terjadi di liang telinga, kelenjar
rambut, bahkan sampai ke bagian telinga tengah di belakang gendang. Selain
karena mengorek, infeksi telinga tengah yang disebut congek bisa pula
disebabkan oleh adanya infeksi di saluran nafas, yang berasal dari belakang
hidung lalu merambat ke saluran tuba eskafius yang menghubungkan rongga di
belakang hidung dengan telinga tengah. Jika produksi nanah semakin banyak, maka
gendang bisa pecah atau bocor. Akibat selanjutnya, pendengaran akan terganggu.
Di dalam telinga terdapat banyak sekali saraf. Itulah
kenapa telinga sangat sensitif. Ketika kita sakit amandel, sakit gigi atau
radang tenggorokan, telinga juga terasa sakit, karena telinga kita dilalui
saraf perasa. Saraf ini akan mengalihkan rasa sakit di daerah lain sampai ke
telinga.
HINDARI MUSIK KERAS
Banyak hal bisa menjadi penyebab menurunnya kualitas
pendengaran. Dalam gangguan taraf ringan, orang hanya akan mampu mendengar
bunyi dengan kapasitas 25 – 40 desibel saja, taraf sedang 40 – 60 desibel, dan
jika lebih dari 60 desibel berarti berada dalam taraf berat.
Kita sering merasa tak pernah mendengarkan musik
keras-keras. Namun punya kebiasaan mendengarkan musik dari HP atau MP3 player
dengan headset atau earphone. Sekalipun alat itu kecil, karena penggunaannya
yang ditempelkan di telinga menyebabkan tingkat kekerasan suaranya mengalahkan
suara bising kereta api. Kerusakan penurunan pendengaran karena hal ini
bersifat permanen dan tak bisa disembuhkan.
Penyebabnya beraneka ragam, mulai kelainan di telinga
luar hingga dalam. Kelainan di telinga luar bisa disebabkan adanya penyumbatan
oleh getah telinga, benda asing, bisul, atau tumor. Gangguan di telinga tengah
seperti gendang pecah, perdarahan akibat benturan pada kecelakaan, terputusnya
rantai tulang pendengaran atau keluarnya cairan karena alergi.
Sementara di telinga dalam, gangguan berupa “pingsan”
atau matinya sel rambut yang mengubah getaran mekanik jadi listrik lalu
menyampaikannya ke otak. “Pingsan” atau matinya sel rambut disebabkan trauma
bising, misalnya mendengar terlalu lama dan sering bunyi-bunyian yang amat
keras, infeksi yang menjalar dari telinga tengah atau karena keracunan obat.
Melalui peredaran darah, racun dari obat bisa sampai ke telinga dalam.
Penyakit seperti darah tinggi dan diabetes juga bisa
mengurangi pendengaran. Pasalnya, penyakit ini bisa sebabkan rusaknya pembuluh
darah. Akibatnya, telinga dalam sebagai terminal tak mendapat makanan yang
cukup,” ujar Darnila. Sejumlah makanan juga bisa menyebabkan penurunan pendengaran
jika menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Contohnya garam, lemak dan rokok.
Turunnya pendengaran karena darah tinggi, diabetes dan keracunan obat bisa
menyerang dua belah telinga. Sementara penyebab lainnya hanya menyerang telinga
yang mengalami gangguan. Perlu diingat, gangguan di satu telinga tidak menjalar
ke telinga yang lain.
Kebanyakan gangguan yang terjadi di telinga luar dan
telinga tengah bisa diatasi. Sedangkan jika mengenai telinga dalam agak sulit.
Kalau sel rambut di telinga dalam hanya “pingsan”, misalnya akibat mendengarkan
musik disko selama dua jam saja, maka pendengaran akan kembali setelah beberapa
lama menghindar musik keras ini. Namun, jika terlalu sering mendengar musik
atau bunyi-bunyian yang amat keras, bisa saja sel rambut itu patah dan akhirnya
kualitas pendengaran rusak berat. Umumnya hal ini tak bisa diperbaiki.
Pendengaran menurun yang permanen juga bisa ditemukan
pada bayi dengan kelainan bawaan. Biasanya pada mereka bisa dilakukan tes refleks. Tes ini bisa
dilakukan oleh orang tua yang merasa curiga anaknya tidak bisa mendengar.
Caranya dengan membunyikan sesuatu di tempat tersembunyi, yang tidak bisa lihat
matanya. Lihat saja, apakah saat mendengar bunyi ia langsung memberi respon
atau tidak?
(Dari berbagai sumber)